Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Masukkan Kata Kunci Pencarian

Selasa, 30 Juni 2009

"Sejarah Kota Palopo"

Kota Palopo, dahulu disebut Kota Administratip (Kotip) Palopo, merupakan Ibu Kota Kabupaten Luwu yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor Tahun 42 Tahun 1986

Seiring dengan perkembangan zaman, tatkala gaung reformasi bergulir dan melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000, telah membuka peluang bagi Kota Administratif di Seluruh Indonesia yang telah memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat ditingkatkan statusnya menjadi sebuah daerah otonom.

Ide peningkatan status Kotip Palopo menjadi daerah otonom , bergulir melalui aspirasi masyarakat yang menginginkan peningkatan status kala itu, yang ditandai dengan lahirnya beberapa dukungan peningkatan status Kotip Palopo menjadi Daerah Otonom Kota Palopo dari beberapa unsur kelembagaan penguat seperti Surat Bupati Luwu No. 135/09/TAPEM Tanggal 9 Januari 2001, Tentang Usul Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Keputusan DPRD Kabupaten Luwu No. 55 Tahun 2000 Tanggal 7 September 2000, tentang Persetujuan Pemekaran/Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Otonomi; Surat Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan No. 135/922/OTODA tanggal 30 Maret 2001 Tentang Usul Pembentukan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Keputusan DPRD Propinsi Sulawesi Selatan No. 41/III/2001 tanggal 29 Maret 2001 Tentang Persetujuan Pembentukan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Hasil Seminar Kota Administratip Palopo Menjadi Kota Palopo; Surat dan dukungan Organisasi Masyarakat, Oraganisasi Politik, Organisasi Pemuda, Organisasi Wanita dan Organisasi Profesi; Pula di barengi oleh Aksi Bersama LSM Kabupaten Luwu memperjuangkan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo, lalu kemudian dilanjutkan oleh Forum Peduli Kota.

Akhirnya setelah Pemerintah Pusat melalui Depdagri meninjau kelengkapan administrasi serta melihat sisi potensi, kondisi wilayah dan letak geografis Kotip Palopo yang berada pada Jalur Trans Sulawesi dan sebagai pusat pelayanan jasa perdagangan terhadap beberapa kabupaten sekitar, meliputi Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja dan Kabupaten Wajo serta didukung sebagai pusat pengembangan pendidikan di kawasan utara Sulawesi Selatan, dengan kelengkapan sarana pendidikan yang tinggi, sarana telekomunikasi dan sarana transportasi pelabuhan laut, Kotip Palopo kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonom Kota Palopo .

Tanggal 2 Juli 2002, merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan pembangunan Kota Palopo, dengan di tanda tanganinya prasasti pengakuan atas daerah otonom Kota Palopo oleh Bapak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia , berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Palopo dan Kabupaten Mamasa Provinsii Sulawesi Selatan , yang akhirnya menjadi sebuah Daerah Otonom, dengan bentuk dan model pemerintahan serta letak wilayah geografis tersendiri, berpisah dari induknya yakni Kabupaten Luwu.

Diawal terbentuknya sebagai daerah otonom, Kota Palopo hanya memiliki 4 Wilayah Kecamatan yang meliputi 19 Kelurahan dan 9 Desa. Namun seiring dengan perkembangan dinamika Kota Palopo dalam segala bidang sehingga untuk mendekatkan pelayanan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat , maka pada tahun 2006 wilayah kecamatan di Kota Palopo kemudian dimekarkan menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan.

Kota Palopo dinakhodai pertama kali oleh Bapak Drs. H.P.A. Tenriadjeng, Msi, yang di beri amanah sebagai penjabat Walikota (Caretaker) kala itu, mengawali pembangunan Kota Palopo selama kurun waktu satu tahun , hingga kemudian dipilih sebagai Walikota defenitif oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palopo, untuk memimpin Kota Palopo Periode 2003-2008, yang sekaligus mencatatkan dirinya selaku Walikota pertama di Kota Palopo.

"Doa Sang Ibu"

oleh Fery Ramadhansyah

Ta’yin, mungkin istilah ini mirip sidang meja hijaunya jenjang strata satu di sini. Biasanya kalau kuliah di indonesia, sebagai tugas akhir tahun mahasiswa, ada buat semacam karya tulis yang disebut skripsi. Dan skripsi ini merupakan laporan hasil kerja yang pernah dilakukan, untuk mengamati dan menganalisa sebuah masalah kemudian mencari solusinya. Semua ini dikemas dalam tulisan, kemudian dibukukan lalu disidangkan dihadapan beberapa dosen penguji untuk dipertanggungjawabkan atas kebenaran tulisan tersebut.

Kalau di sini, yang begituan tidak ada. Memang sedikit beda dengan yang lain. Lebih banyak nggak wajibnya, nggak seperti di indonesia. Konon, katanya kawan-kawan yang belajar di dalam negeri, di universitas manapun, yang namanya mahasiswa pasti akrab banget dengan paper, makalah, persentase kehadiran, dan skripsi. Malah kebanyakan di sana itu sering buat makalah-makalah. Katanya untuk membiasakan mereka menulis skripsi nantinya. Lagian memang, apa artinya mahasiswa kalau nggak bisa nulis. Dimana-mana orang pintar bisa nulis. Itu upaya dirinya dalam memiindahkan pengetahuan kepada khalayak ramai yang disaji dalam bahasa tulisan. Makanya, supaya ide-ide itu berkembang lebih cepat di masyarakat, perlu keahlian menulis.

Di Azhar, khususnya buat strata satu, yang wajib itu cuma dua. Pertama, harus hadir ijroat buat karneh dan bayar rusum. Kedua, ujian tahriri (tulisan ) dan syafahi (lisan). Selebihnya sunnah, kayak muhadharah (hadir kelas) dan buat bahas (paper/makalah). Jadi walaupun sudah tercatat sebagai mahasiswa, mau masuk kelas dengar ceramah dosen atau tidak, terserah. Terus kalau ada tugas bahas, mau ngumpulin bagus, tidak ngumpul juga nggak apa-apa. Sampe-sampe bagi sebagian wafidin yang negaranya bertetanggan dengan mesir, mereka baru ada di mesir sewaktu ujian aja.

Asal diktat udah ditangan, mereka cukup menguasainya, terus ujian. Kalau bagus jawabannya, berarti najah (lulus). Kalau tidak, ya rasib (gagal).

Setiap tahun kan ada dua ujian, tahriri dan syafahi. Nah, khusus tahun empat, karena dianggap ini tahun akhir, maka ada dua maddah (mata kuliah ) yang disyafahikan, tapi istilahnya ta’yin. Jadi, dosen nyuruh baca dari halaman sekian sampai sekian, kemudian sewaktu ujian baru disuruh jelaskan apa yang kita baca. Dan ta’yin ini biasanya diambil dari buku-buku turost, karya ulama klasik dulu.

Tidak banyak sih, paling cuma tiga lembar. Tapi, ya itu tadi, karena buku itu di tulis dengan gaya bahasa arab tempo dulu jadi lebih memeras otak bacanya. Belum lagi gaya tulisannya yang sayarat mantiqi, banyak dhamir (kata ganti). Singkat tapi padat. Itulah yang bikin waswas, kalau-kalau dosen pengujinya syadid alias killer, bisa-bisa ditanya sedetail mungkin. Mulai dari nama pengarang, I’rab matan, nama pensyarah dan perbedaan ulama terhadap masalah yang ada.

Entah kenapa, hari itu benar-benar gerogi. Padahal persiapanku lumayan matang. Tapi khawatir aja, ta’yin yang diujikan nggak terjawab. Satu jam udah berada di kawasan kampus. Dada masih berdegup kencang. Dan, satu yang terlintas dalam benakku. Ibuku yang ada di Indonesia. langsung kuambil handphone, kukurim sms ke ibu, dibalasnya dengan penuh optimis. Walhasil, sewaktu dosen menanya, serasa ada kekuatan sendiri yang menggerakkan lidah ini untuk menjawab dengan lancar semua pertanyaan yang diajukan dosen. Alhamdulillahi rabbil alamin.

Pernah satu kali baginda nabi Muhammad saw ditanya tentang siapa orang yang paling harus mendapat perlakuan baik. Lalu dia menjawab “ibumu”. Kemudian siapa lagi, jawab beliau “ibumu”. Kemudian siapa lagi, jawab beliau “ibumu”. Setelah itu barulah beliau menjawab “bapakmu.

Dari sini diketahui, dalam linkup berbuat baik pada kedua orang tua, antara ibu dengan bapak adalah tiga banding satu. Artinya bahwa kedudukan ibu lebih mendapat perioritas untuk lebih dihormati dan disayangi. Sampai-sampai kemuliaan seorang ibu menjadi kiasan di bawah telapak kakinya surga itu ada.

Ibu yang mengandung sembilan bulan sepuluh hari. Dalam keadaan lemah bersangatan. Kemudian setelah melahirkan mengasuh, mengayomi dan lain sebagainya. Ibu jugalah kawan bermain paling dekat bagi seorang anak. Maka wajar, ikatan emosional dan jiwa antara ibu dan anak itu diibaratkan satu kesatuan rasa. Tidak jarang sang ibu mampu merasakan apa yang terjadi pada si anak. Maka, orang sering bilang, jangan melawan sama ibu, karena setiap kata-kata yang terlontar darinya adalah doa.

Kemuliaan ibu, adalah keberkahan hidup seseorang. Di sanalah kuncinya. Mungkin inilah diantara berkah hidup yang pernah saya lihat dalam keluarga kami. Bapak saya misalnya, adalah tipe figur laki-laki ideal pertama yang pernah ada. Ia pekerja yang ulet, sayang sama isteri dan anak-anaknya. Juga peduli sama adik-adiknya. Setiap, penghasilannya selalu disisihkan untuk ibu dan adik-adiknya.

Dulu ,kebiasaan bapak mengantar sebagian gajinya ke tempat nenek, awalnya sempat membuat diriku bertanya-tanya. Mungkin waktu itu aku juga masih kecil, kisaran usia sepuluh tahun, jadi mungkin masih belum paham. Terkadang sering ku lihat mamah komplain, kenapa bapak sering ke tempat nenek kalau masa gajian. Dan menyisihkan sebagian gajinya untuk keperluan hidup nenek juga adiknya yang tinggal serumah. Tapi, di situlah keberkahan terus mengalir. Hingga satu ketika, mamah baru faham setelah mendengar ustad yang menjelaskan bagaimana seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya, meskipun ia telah berkeluarga dan menjadi kepala rumah tangga. Satu, yang masih teringat dipikiran saya, ketika mamah meceritakan kembali apa yang didapatnya dari ustad tersebut. Karena bakti seorang anak kepada ibu angan mengantarkan dia menuju kesuksesan hidup. Sebab doa ibu akan selalu menyertai setiap langkahnya. Dan ini terbukti, alhamdulillah dari sekian famili yang ada keluarga kami, bapak lah satu-satunya anggota keluarga yang lumayan bisa tersenyum menjalani hidup, ketimbang saudara-saudaranya yang lain.

Doa orang tua, terkhusus ibu adalah doa yang paling mujarab. Maka dari itu, salah satu kesuksesan seseorang bergantung pada seberapa ridha ibunya terhadap dirinya. Sampai-sampai dalam legenda, ada yang menceritakan saking kesalnya seorang ibu, si anak bisa dikutuk jadi batu seperti kisah malingkundang. Kalaulah saja, rasul mengatakan ridha Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua, itu artinya berhasil atau tidak hidup di dunia ini, adalah ibu juga punya andil cukup besar di dalamnya.

Betapa bahagia seorang ibu, melihat anaknya berhasil. Apalagi, rasa bakti seorang anak yang begitu besar tercurah untuk sang ibu. Sehingga, tanpa harus diminta untuk mendoakan, setiap langkah perjalanan si anak akan selalu diiringi doanya.
Rabbighfirli waliwalidayya warham huma kama rabbayani shagira

"Sebuah Perjalanan dan Syurga"

Tadi malam kami sekeluarga baru tiba dari sebuah perjalanan yang sangat jauh. Perjalanan itu sangat melelahkan karena kondisi jalan banyak yang tidak sesuai harapan. Jalannya banyak berlubang dan bergelombang. Belum lagi banyak pengemudi kendaraan yang sering kali tidak memerhatikan kesopanan berlalu-lintas.

Saat keberangkatan, hati saya sangat mantap untuk menjalani perjalanan ini. Walaupun saya tahu, perjalanan yang akan saya jalani akan meminta banyak pengorbanan. Pengorbanan tenaga, waktu dan dana. Semuanya saya ikhlaskan karena tahu perjalanan ini adalah sebuah perjalanan yang saya tahu akan membuat kami sekeluarga gembira. Tujuan kami memang untuk mengisi liburan anak-anak dan sekaligus bersilaturahim pada keluarga di kota lain yang sedang berduka.

Saat di dalam perjalanan itulah, saya merenung tentang hidup ini. Hidup yang harus tetap saya jalani, baik suka atau pun tidak. Kehidupan yang akan tetap pada porosnya, sesuai pengaturan sang Ilahi. Kehidupan yang bisa diandaikan sebuah perjalanan yang akan berakhir pada sebuah muara, yaitu kematian.

Kematian memang sebuah kepastian. Tapi saya merasakan sebuah ketakutan, bila saatnya datang. Ketakutan yang berdasarkan pada pribadi saya yang jauh dari yang di harapkan. Sebuah ketakutan yang akhirnya membuat saya harus berpikir ulang tentang semua prilaku dan misi saya dalam mengisi hidup.

Saya merasakan perjalanan ini adalah sebuah perjalanan yang berbeda dari sebelumnya. Perjalanan ini penuh dengan gejolak sisi ruhiyah. Perjalanan yang mampu membuatku melihat semua sisi kehidupan yang sebelumnya tak pernah saya renungkan.

Saat singgah di sebuah warung makan. Saya melihat beberapa pelayan yang menyediakan makanan sangat ramah. Pelayan-pelayan itu ada wanita dan pria. Semuanya bersemangat untuk melayani permintaan kami. Padahal saya tahu mereka kelelahan. Karena tempat mereka bekerja memang sebuah warung makan yang terkenal untuk si singgahi para musafir yang membutuhkan tempat mengisi perut dan meluruskan punggung.

Saya lama memerhatikan mereka. Mereka, para pelayan itu tidak di gaji sesuai dengan gaji lokal. Maklum saja, karena mereka khusus di datangkan dari pulau seberang, agar pengeluaran untuk membayar pelayan dapat ditekan serendah mungkin. Jadi mereka menerima bayaran yang sangat minim, itu menurut saya. Tapi dengan imbalan yang minim itu mereka tetap bersemangat. Mereka bersemangat karena tahu, di kampung mereka, akan sangat sulit mendapatkan pekerjaan seperti saat ini. Saat bekerja inilah mereka tahu, bahwa mereka tak perlu risau tentang : “Apa yang akan mereka makan setiap harinya?” Dapat di maklumi, mereka seringkali kelaparan saat masih bersama orang-tua mereka. Selain itu mereka dapat membantu keluarga mereka di kampung dengan cara mengirim hasil kerja mereka. Mereka termasuk orang-orang yang bersyukur atas apa harus mereka jalani.

Saat tiba di sebuah pusat perbelanjaan, saya juga melihat seorang petugas kebersihan. Dia seorang wanita. Badannya sedikit ringkih, dari penampilannya sangat kelihatan dari sebuah keluarga pra sejahtera. Tapi dia tak pernah sejenak pun terlihat menghela napas saat menyapu lantai. Padahal para pengunjung sangat padat. Dia tak kelihatan lelah untuk berputar-putar di lokasi kerjanya yang lumayan luas, untuk membuat lokasi itu tetap bersih. Sebuah semangat yang di adakan karena yakin pekerjaan yang di lakoninya akan mendapatkan sebuah imbalan. Sebuah imbalan yang akan menyambung kehidupan diri dan keluarganya. Sebuah pengharapan yang membuatnya tetap ikhlas dalam menjalani semua hari-harinya.

Hikmah perjalanan yang saya dapat lain pula. Karena pada perjalanan ini, membuat saya dan keluarga sangat kelelahan untuk menempuhnya. Kelelahan yang kami dapatkan, memang telah kami perhitungkan. Sebuah perhitungan dengan membandingkan antara pengorbanan dan kenikmatan yang akan kami dapatkan.

Perjalanan itu adalah sebuah perjalanan hidayah bagiku, hingga membuatku tercerahkan. Karena saya melihat tujuan perjalanan yang harus melelahkan ini, akan bermuara pada sebuah kenikmatan. Maka saya pun menarik garis lurus dengan perjalanan waktu yang telah di sediakan Allah Swt. Yang harus saya isi dengan tujuan yang lurus, walaupun saya tahu akan banyak gelombang kehidupan, riak-riak kesedihan dan pengorbanan perasaan dan dana untuk mencapai kenikmatan yang telah di sediakan oleh sang Pengasih.

Memang dalam hidup ini kita selalu ingin berada pada posisi yang nyaman. Materi melimpah, kesehatan yang selalu prima, jabatan yang tinggi, dan banyak hal lainnya yang semuanya berujung pada sebuah kata : “Tak ingin sengsara.”

Tapi haruskah kita mengisi hidup dengan hal-hal yang hanya menyenangkan raga? Haruskah kita hanya mengejar materi? Jabatan? Kenapa kita hanya ingin mengisi perjalanan hidup dengan hanya sebuah perjalanan yang harus selalu menyenangkan bagi kita? Sementara kita di rancang oleh Allah Swt. sebagai makhluk Rahmatan lil’alamin?

Dimana fungsi keberadaan kita? Kemana semangat kita untuk mengisi perjalanan dunia dengan sebuah keikhlasan untuk meraih Ridho-Nya? Padahal kita tahu sebuah kenikmatan abadi akan menanti kita, jika perjalanan di dunia ini kita isi dengan sebuah semangat untuk selalu memperbaiki diri dan mencerahkan orang lain. Agar kita dan lingkungan kita, akan menerima sebuah syurga yang telah di janjikan Allah Swt.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”

29 Juni 2009

Ambe.mardiah@gmail.com

kaligrafi

Senin, 29 Juni 2009